BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Itik merupakan salah satu komoditi unggas yang
banyak dipelihara di Indonesia sebagai penghasil daging dan telur (tipe
dwiguna).Ternak itik
lokal merupakan ternak unggas penghasil telur, daging dan bulu (Ismoyowati,
2008). Selain itu
olahan daging itik juga sangat digemari oleh masyatakat.Hal ini sebagai bukti bahwa usaha dan
agribisnis perunggasan terutama itik masih terbuka lebar dengan prospek
keuntungan yang masih menjanjikan.
Ternak itik
lokal Indonesia khususnya Sumatera Selatan adalah Itik Pegagan di Kabupaten
Ogan Ilir, yang merupakan sumber daya genetik yang telah menjadi salah satu
pilihan usaha penyedia telur dan daging oleh masyarakat setempat.Akan tetapi pelaksanaan agrinbisnis
dalam bidang ini bukan tanpa tantangan.Tantangan yang dihadapi tidak hanya
berfokus pada ketersediaan pakan yang tersedia sepanjang tahun dan tidak bersaing dengan manusia tetapi juga
kemampuan peternak untuk menyediakan daging yang tidak hanya sehat tetapi juga
menyehatkan bagi konsumen.
Ransum
yang diberikan dengan memperhatikan kebutuhan, tentu saja belum memaksimalkan
produktivitas. Untuk itu
perlu adanya pakan
aditif yang ditambahkan
dalam ransum. Pakan
aditif yang digunakan
dapat berupa produk herbal yang sudah
dikenal oleh masyarakat
luas. Produk herbal
yang digunakan
adalah jahe (Zingiber Officinale
var. Rubrum) yang
sudah dikenal sejak jaman dahulu
sebagai tanaman obat.
Jahe merah diharapkan
mampu menggantikan obat non
organik. Tepung jahe mempunyai manfaat dalam pencernaan, penyerapan
dan metabolisme. Disamping
itu, jahe merah juga memiliki komponen bioaktif berupa
minyak atsiri, oleoresin dan gingerol.
Berbagai
komponen bioaktif tersebut, disamping memperbaiki produktivitas juga mampu
mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Minyak atsiri membantu kerja enzim pencernaan sehingga laju
pakan meningkat dan
seiring dengan laju pertumbuhan maka
produksi daging akan
naik. Jahe berkhasiat menambah
nafsu makan, memperkuat lambung,
dan memperbaiki pencernaan.
Terangsangnya selaput lendir perut
besar dan usus
oleh minyak atsiri yang
dikeluarkan rimpang jahe, sehingga
mengakibatkan lambung menjadi
kosong dan ayam
akan mengkonsumsi ransum (Harmono
dan Andoko, 2005 ;
Setyanto et al.,
2012).
Dengan kandungan bioaktif yang dimiliki diharapkan mampu
meningkatkan produktivitas ternak itik pegagan. Akan tetapi, belum
diketahui seberapa banyak level penambahan
tepung jahe merah
untuk memperbaiki produktivitas
dan kualitas produk. Untuk
itu perlu dilakukan
praktikum mengenai pengaruh tepung jahe terhadap produktivitas, karena
daging dan telur itik
cenderung lebih diminati sehubungan dengan
ransum yang dikonsumsi
itik dan daya
tahan tubuhnya yang lebih
baik jika dibandingkan
dengan itik lainnya, sehingga
dapat menghasilkan produktivitas yang lebih
alami karena tidak
menggunakan antibiotika.
Manfaat yang diperoleh
dari penelitian ini
adalah memperoleh informasi
terhadap level pemberian jahe merah yang optimal.
Peningkatan
bobot badan dan kuran-ukuran tubuh dapat
digunakan untuk mengetahui dan mempelajari pertumbuhan dan perkembangan ternak. Ternak
dengan ukuran tulang yang lebih besar cenderung tumbuh lebih cepat dan menghasilkan potongan
karkas yang lebih
besar dibandingkan dengan
ternak yang mempunyai
ukuran tulang lebih
kecil. Pemberian tepung jahe
sebagai growth promotor dapat
meningkatkan laju pertumbuhan karena mengandung zat bioaktif yang dapat memacu pertumbuhan kerangka tulang. Tepung
Jahe diberikan pada fase pertumbuhan untuk
meningkatkan pertumbuhan guna mencapai produksi yang optimal.
1.2. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya
praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung jahe sampai level
1,5 % dalam ransum berpengaruh terhadap performa Itik Pegagan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Itik Pegagan
Itik
Pegagan adalah itik yang berasal dari Provinsi Sumatera Selatan, Itik Pegagan
ini merupakan salah satu plasma nutfah asli yang dimiliki oleh Indonesia
sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan. Populasi Itik Pegagan saat ini
diperkirakan hanya 10% populasi itik di Sumatera Selatan. Menurut Komisi Plasma
Nutfah populasi Itik Pegagan sekarang
ini sekitar 5.000 ekor. Padahal
Itik Pegagan sebagai sumber plasma nutfah belum banyak diungkap sebagaimana
ternak itik lokal lain, sehingga perlu upayakan pelestarian terhadap Itik
Pegagan tersebut. Keunggulan Itik Pegagan ini terletak pada berat telur dan
berat badan. Berat telur Itik Pegagan mencapai 70-80 g dan berat badan itik
betina dewasa mencapai 2,1 kg/ekor, sedangkan berat telur jenis itik lain hanya
60-65 g dan berat badannya berkisar 1,45-1,90 kg/ekor (Pramudyati, 2003).
Menurut Brahmantiyo et al., (2002)
Itik Pegagan mempunyai potensi pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan itik
petelur (Alabio, Mojosari dan persilangan timbal baliknya) namun masih lebih
rendah dibandingkan itik pedaging (Peking) dan
daya adaptasi Itik Pegagan cukup baik dilingkungan baru yang berbeda
dengan habitat asli (ex situ).
¨ Klasifikasi Taksonomi Itik Lokal Indonesia
¡ Kingdom : Animalia
¡ Phylum : Chordata
¡ Sub :
Vertebrata
¡ Class : Aves
¡ Ordo :
Anseriformes
¡ Family : Anatidae
¡ Genus : Anas
¡ Spesies : Anas
platyrhynchos
Itik bersifat omnivorus (pemakan segala) yaitu memakan bahan
dari tumbuhan dan hewan seperti biji-bijian, rumput-rumputan, ikan, bekicot dan
keong. Itik merupakan unggas yang mempunyai ciri-ciri kaki relatif lebih pendek
dibandingkan tubuhnya; jarinya mempunyai selaput renang; paruhnya ditutupi oleh
selaput halus yang sensitif; bulu berbentuk cekung, tebal dan berminyak; itik
memiliki lapisan lemak di bawah kulit; dagingnya tergolong gelap (dark meat);
tulang dada itik datar seperti sampan (Suharno dan Setiawan, 1999). Rasyaf
(1993) menyatakan bahwa itik merupakan unggas air yang dipelihara untuk diambil
telurnya yang mempunyai ciri-ciri umum; tubuh ramping, berjalan horizontal,
berdiri hampir tegak seperti botol dan lincah sebagai ciri unggas petelur.
Menurut Windhyarti (1999), itik dibagi
menjadi tiga tipe yaitu tipe pedaging, tipe petelur dan tipe hias (ornamental).
Itik tipe pedaging misalnya itik Muscovy (Anas moscata, itik
manila), itik Peking dan itik Rouen. Itik ornamental contohnya itik Blue
Swedis. Itik tipe petelur antara lain Indian Runner (Anas javanica)
yang terdiri dari itik Karawang, itik Mojosari, itik Tegal, itik Magelang, itik
Bali (Anas sp.), itik Alabio (Anas platurynchos borneo), itik
khaki Campbell, itik CV 2000-INA serta itik unggul lain yang merupakan hasil
persilangan oleh pakar BPT Ciawi-Bogor.
2.2. Tepung
Jahe
Pertumbuhan itik dipengaruhi
oleh pakan yang diberikan untuk tumbuh dan berkembang, maka peran dari
saluran pencernaan sangat berperan untuk mengubah pakan menjadi senyawa-senyawa
yang diperlukan oleh tubuh. Bahan lokal jahe (Zingiber officinale)
diketahui mempunyai kandungan minyak atsiri yang memiliki aroma harum yang
dapat merangsang kelenjar pencernaan, baik untuk membangkitkan nafsu makan dan
pencernaan. Jahe berkhasiat untuk menambah nafsu makan, memperkuat lambung, dan memperbaiki
pencernaan, meningkatkan kinerja enzim yang dapat membantu proses pencernaan
dalam mengolah pakan. Pencantuman jahe dalam pakan pada tingkat ini juga meningkatkan stabilitas oksidatif, tetapi menurunkan konsentrasi
kolesterol dalam serum ayam pedaging (Zhang et al., 2009).
Jahe dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: jahe gajah, jahe emprit dan
jahe merah. Jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum) berukuran paling
kecil dibandingkan dengan jenis jahe lainnya, berwarna merah, dan memiliki
kandungan minyak atsiri yang sama dengan jahe emprit. Jahe merah juga memiliki
komponen bioaktif berupa minyak atsiri, oleoresin dan gingerol.
Berbagai komponen bioaktif tersebut, disamping memperbaiki produktivitas juga
mampu mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Minyak atsiri membantu
kerja enzim pencernaan sehingga laju pakan meningkat dan seiring dengan laju pertumbuhan
maka produksi daging akan naik. Jahe berkhasiat menambah nafsu makan,
memperkuat lambung dan memperbaiki pencernaan. Terangsangnya selaput lendir
perut besar dan usus oleh minyak atsiri yang dikeluarkan rimpang jahe, sehingga
mengakibatkan lambung menjadi kosong dan ternak akan mengkonsumsi pakan
(Setyanto, Atmomarso dan Muryani, 2012). Sifat gingerol sebagai antikoagulan
yaitu mampu mencegah penggumpalan darah, diperkirakan juga mampu menurunkan
kadar kolestrol.
Minyak atsiri dalam jahe merah terdiri dari senyawa-senyawa zingeberin,
kamfena, lemonin, zingiberen, zingiberal, gingeral,
dan shogool. Kandungan lainnya, yakni minyak damar, pati, asam organik,
asam malat, asam aksolat, dan gingerin. Minyak atsiri jahe merah diyakini
memiliki khasiat untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Rahmawati, 2010).
Pemberian jahe dalam pakan pada ayam pedaging dapat menurunkan lemak abdominal
secara nyata dibandingkan pemberian pakan kontrol (Latif et al, 1997).
Berdasarkan kajian pustaka yang ada penelitian jahe merah belum dilakukan,
sehingga perlu dikaji pengaruh pemberian sari jahe merah (Zingiber
officinale var Rubrum) terhadap kualitas karkas itik pedaging.
Dalam penelitian ini mencoba menggunakan tepung jahe yang akan
dicampurkan dalam ransum. Level tepung jahe dalam ransum sebagai feed
additive yaitu 0,5%, 1% dan 1,5% dan mengamati terhadap bobot badan itik
selama masa permeliharaan. Jahe mengandung minyak atsiri dan kurkumin berperan
meningkatkan kerja organ pencernaan, merangsang getah pankreas yang mengandung
enzim amilase, lipase, dan protease, akan tetapi jika penggunaan jahe
berlebihan maka akan menyebabkan dampak negatif (toksik) pada tubuh ayam (Herawati,
2010).
2.3. Konsumsi pakan
Ternak mengkonsumsi ransum adalah untuk
hidup pokok, tumbuh dan berproduksi, sehingga jumlah ransum yang telah
dikonsumsi mempengaruhi pertumbuhan (Schaible, 1970 cit. Zaenudin,
1996). Menurut Wahyu (1978) cit. Wibowo (1989) menyatakan bahwa ternak
mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan akan energi dan zat-zat ransum
lainnya dalam tubuh. Hal ini sangat ditentukan oleh temperatur lingkungan,
kesehatan, ukuran tubuh kecepatan serta imbangan zat-zat ransum yang ada di
dalamnya.
Pertumbuhan tidak terlepas kaitannya
dengan konsumsi ransum yang pada gilirannya mencerminkan pula konsumsi gizinya.
Kesempurnaan imbangan gizi dalam konsumsi ransum sangat penting bagi
pertumbuhan optimal (Soeharsono, 1977). Konsumsi ransum dipengaruhi kecepatan
pertumbuhan, imbangan zat-zat ransum, strain, kesehatan, bentuk ransum dan umur
(Wahyu, 1985) dan temperatur lingkungan menunjukkan kecenderungan korelasi
negatif dengan konsumsi ransum (Soeharsono, 1977).
Pengukuran konsumsi ransum setiap
minggu berdasarkan jumlah yang diberikan pada awal minggu dikurangi dengan sisa
pada akhir minggu (Soeharsono, 1977). Menurut Rasyaf (1994) menerangkan bahwa
konsumsi diukur dalam waktu satu minggu. Konsumsi ransum pada kurun waktu itu,
apabila dibagi tujuh akan diperoleh konsumsi per hari.
2.4. Konversi Pakan
Konversi ransum
merupakan pembagian antara bobot badan yang dicapai pada minggu ini dengan
konsumsi ransum pada minggu itu pula. Konversi ransum sebaiknya digunakan
sebagai pegangan produksi karena sekaligus melibatkan bobot badan dan konsumsi
ransum (Rasyaf,1994). Menurut Anggorodi (1985) menyatakan bahwa konversi ransum
adalah perbandingan antara jumlah konsumsi ransum dengan pertambahan bobot
badan dalam suatu satuan waktu tertentu. Dijelaskan lebih lanjut bahwa semakin
kecil angka konversi semakin baik pula tingkat penggunaan ransum. Menurut
Soeharsono (1977) menjelaskan bahwa makin kecil nilai konversi ransum ditinjau
dari segi ekonomis makin menguntungkan karena makin sedikit jumlah ransum yang
diberikan untuk menghasilkan bobot badan tertentu. Ransum unggas yang memakai
energy tinggi cenderung mempercepat pertumbuhan serta akan memperbaiki konversi
ransum, apabila diikuti dengan bertambahnya tingkat protein (Scott et al., 1976
cit. Zaenudin, 1996). Genetik, bobot badan, umur, tingkat pemberian
ransum, kualitas dan kuantitas ransum merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
konversi ransum (Campbell dan Lasley, 1977 cit. Zaenudin, 1996).
2.5. Bobot akhir
Kecepatan pertumbuhan (grow rate) pada
unggas biasanya diukur melalui pertambahan bobot badan (Soeharsono, 1977). Pada
umumnya, pengukuran pertumbuhan ternak didasarkan pada kenaikan bobot tubuh per
satuan waktu tertentu, yang dinyatakan sebagai rerata pertambahan bobot badan
per hari atau rerata kadar laju pertumbuhan (Brody, 1945 cit. Soeparno,
1994). Menurut Rasyaf (1994) menjelaskan pengukuran bobot badan dilakukan dalam
kurun waktu satu minggu sehingga untuk
mendapatkan pertambahan bobot badan harian, bobot dibagi tujuh.
Dinyatakan
dalam rumus sebagai berikut :
PBB
= BBt – BBt-1
PBB
: Pertambahan bobot badan
BBt
: Bobot badan pada waktu t
BBt-1:
Bobot badan pada waktu yang lalu
t : Waktu satu minggu
Pola pertumbuhan tubuh secara normal
merupakan gabungan dari pola pertumbuhan semua komponen penyusunnya. Pada
kondisi lingkungan yang ideal, bentuk kurve pertumbuhan postnatal untuk
semua species ternak yang serupa, yaitu mengikuti pola kurve pertumbuhan
sigmoidal, yaitu pada awal kehidupan mengalami pertumbuhan yang lambat diikuti
pertumbuhan yang cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi hingga berhenti setelah
mencapai kedewasaan (Tulloh,
1978 cit. Soeparno, 1994).
BAB 3
MATERI DAN METODE
3.1.
Tempat dan Waktu
Praktikum ini
dilaksanakan di kandang Program studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya, dari tanggal 01 sampai dengan
tanggal 24
November 2014.
3.2. Materi Praktikum
3.2.1. Kandang
Kandang untuk pemeliharaan
digunakan kandang baterai dengan jumlah kandang
pemeliharaan yang digunakan sebanyak 20 kandang, dengan luas kandang 60 cm x 70 cm. Pada setiap
kandang dilengkapi dengan tempat
pakan, tempat minum dan lampu.
3.2.2. Ternak
Penelitian ini menggunakan Itik Pegagan
berumur satu hari yang diperoleh dari Desa Kota Daro Kecamatan Rantau Panjang
Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatra Selatan.
3.2.3. Ransum
Ransum yang digunakan selama praktikum adalah ransum
basal tanpa antibiotik berbentuk crumble
yang disusun secara isokalori dan
isoprotein dengan susunan ransum periode
stater umur 0-4 minggu dengan kandungan protein 21-23% dan energy metabolisme
2600 kkal/kg sesuai
rekomendasi NRC (1994).
Tabel
3.1. Susunan Ransum Perlakuan Itik pegagan
Jenis
Bahan Baku
|
Jumlah (%)
|
Jagung
|
52
|
Konsentrat
|
40
|
Dedak
|
8
|
Total
|
100
|
3.2.4. Perlakuan yang
Diberikan
Perlakuan yang diberikan selama praktikum berlangsung adalah sebagai berikut :
R1 = Ransum basal (kontrol)
R2 = Ransum basal + tepung jahe 0,5 %
R3 = Ransum basal + tepung jahe 1 %
R4 =
Ransum basal + tepung jahe 1,5 %
3.3.
Metode Praktikum
3.3.1. Pembuatan Ransum
Pencampuran bahan baku dilakukan dengan
mencampurkan bahan yang jumlahnya lebih sedikit terlebih dahulu yaitu dedak halus. Selanjutnya kebahan yang lebih besar dan
banyak jumlahnya yaitu konsentrat dan jagung kuning.
3.3.2. Kandang
Kandang itik yang digunakan dibersihkan dan dikapur
secara merata dan disuciharamkan dengan disinfektan dengan cara disemprot untuk
membunuh bibit penyakit dan bakteri patogen yang ada dalam kandang. Pengapuran
bertujuan untuk mengurangi kelembaban dan mencegah tumbunnya jamur. Kandang
yang sudah disuciharamkan dibiarkan selama satu sampai dua minggu.
3.3.3. Pemeliharaan Ternak
Praktikum ini menggunakan 61 ekor DOD Itik Pegagan. Itik-itik ini dibagi menjadi 1
kontrol, 3 perlakuan dan 5 ulangan dengan masing masing kandang berisi 3 ekor Itik Pegagan.
DOD Itik Pegagan yang baru datang diberi minum
air gula merah dengan konsentrasi 1-2% selama empat jam pertama sebagai sumber
energi untuk memulihkan kondisi itik akibat stress pengangkutan. Selanjunya DOD Itik Pegagan ditimbang dan
dilakukan pengacakan. Setelah itu air gula harus segera diganti dengan air
minum. selama masa pemeliharaan ransum diberikan secara adlibitum.
Pemberian perlakuan penambahan tepung jahe dilakukan dengan cara dicampurkan kedalam ransum sesuai dengan
perlakuan dan diberikan setiap hari.
3.4. Peubah yang Diamati
1. Konsumsi ransum (g/ekor/minggu), dihitung
dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum selama praktikum.
2. Pertambahan bobot badan (g/ekor/minggu),
diukur dengan cara mengurangi bobot badan akhir dengan bobot badan awal praktikum.
3. Konverasi ransum, dihitung dengan cara membagi
pertambahan bobot badan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Tabel 4.1. Hasil
yang diperoleh yaitu pertambahan bobot badan itik pegagan selama pemeliharaan
sebagai berikut:
Perlakuan
|
|
Umur
|
|
|
1Minggu
(gr)
|
2 Minggu
(gr)
|
3 Minggu
(gr)
|
4 Minggu
(gr)
|
|
P3R1
|
180,6
|
286,6
|
432
|
600
|
|
202,4
|
302,2
|
454
|
650
|
|
179,2
|
341,8
|
170
|
200
|
P4R4
|
121,4
|
267,4
|
420
|
550
|
|
137,6
|
179,6
|
451
|
300
|
|
176,2
|
285,4
|
255
|
450
|
P4R5
|
237,6
|
263,4
|
359
|
600
|
|
269,2
|
209.6
|
456
|
500
|
P2R1
|
152,8
|
268,4
|
412
|
600
|
|
140,4
|
247
|
522
|
400
|
|
209,2
|
339,2
|
381
|
500
|
P3R4
|
175,6
|
426,2
|
465
|
600
|
|
119,6
|
247,8
|
355
|
300
|
|
113,6
|
187,4
|
327
|
400
|
P3R2
|
208,2
|
139
|
567
|
500
|
|
101
|
330.6
|
526
|
600
|
|
157,6
|
233,2
|
664
|
500
|
P1R3
|
76,8
|
326
|
505
|
600
|
|
106,8
|
193,4
|
402
|
500
|
|
153,8
|
278,6
|
287
|
350
|
P1R4
|
118,2
|
323,4
|
516
|
450
|
|
109,2
|
191,2
|
302
|
650
|
|
178,6
|
175,4
|
214
|
300
|
P2R5
|
110,0
|
213,6
|
425
|
450
|
|
167
|
303,6
|
423
|
500
|
|
158,8
|
123,2
|
323
|
450
|
P3R5
|
118,6
|
186
|
393
|
400
|
|
126,2
|
231
|
274
|
350
|
|
80
|
197,8
|
332
|
450
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Perlakuan
|
|
Umur
|
|
|
1 Minggu
(gr)
|
2 Minggu
(gr)
|
3 Minggu
(gr)
|
4 Minggu
(gr)
|
|
P2R4
|
155,2
|
327
|
369
|
550
|
|
131,8
|
317,4
|
242
|
350
|
|
99,4
|
105,4
|
437
|
450
|
P1R1
|
179,4
|
149
|
267
|
500
|
|
98,2
|
173,6
|
292
|
400
|
P4R2
|
223,6
|
143,6
|
212
|
400
|
|
96
|
186,2
|
296
|
450
|
|
128,8
|
221
|
310
|
-
|
P4R3
|
110,8
|
205,7
|
422
|
600
|
|
145,6
|
281,4
|
292
|
500
|
|
139,6
|
-
|
-
|
-
|
P1R5
|
143,4
|
350,8
|
390
|
450
|
|
134,2
|
238
|
433
|
500
|
|
299,8
|
302,6
|
323
|
450
|
P3R5
|
214,8
|
223,4
|
411
|
400
|
|
261,4
|
267,2
|
462
|
350
|
|
40
|
90,2
|
256
|
450
|
P2R2
|
169
|
207
|
271
|
600
|
|
101
|
135,2
|
303
|
650
|
|
98,3
|
128,4
|
202
|
200
|
P4R1
|
261,4
|
300,6
|
435
|
550
|
|
121,3
|
146,4
|
251
|
300
|
|
212
|
268,2
|
206
|
450
|
P2R3
|
225,6
|
372
|
253
|
500
|
|
179
|
202
|
267
|
600
|
|
127
|
153,8
|
359
|
300
|
P1R2
|
167,4
|
208,4
|
375
|
400
|
|
78,9
|
131,8
|
197
|
500
|
|
111,2
|
135.8
|
205
|
600
|
Tabel 4.2. Sisa pakan selama pemeliharaan
Perlakuan
|
|
Sisa Pakan
|
|
|
1 Minggu
(gr)
|
2 Minggu
(gr)
|
3 Minggu
(gr)
|
4 Minggu
(gr)
|
|
P3R1
|
27,0
|
89,2
|
49
|
21,2
|
P4R4
|
75.6
|
61,8
|
245,6
|
71,6
|
P4R5
|
90,8
|
23,4
|
32,7
|
62,6
|
P2R1
|
177
|
82,8
|
28,2
|
630
|
P3R4
|
78
|
113
|
32,8
|
62,6
|
P3R2
|
100,8
|
39,4
|
28,7
|
-
|
P1R3
|
112,6
|
67,6
|
303
|
-
|
P1R4
|
81,8
|
54,4
|
35,3
|
75,6
|
P2R5
|
58,8
|
74,4
|
32,8
|
-
|
P3R5
|
224,4
|
85,4
|
26,4
|
-
|
P2R4
|
157,8
|
69,2
|
42,2
|
26,69
|
P1R1
|
176
|
329,4
|
86,2
|
929
|
P4R2
|
117
|
340
|
37,6
|
2,4
|
P4R3
|
31,2
|
210
|
52,4
|
124,8
|
P1R5
|
85,6
|
81,6
|
38,2
|
-
|
P3R3
|
134,2
|
99,4
|
58,2
|
18
|
P2R2
|
225,2
|
188
|
26,2
|
77,29
|
P4R1
|
225,0
|
25
|
26,8
|
33,4
|
P2R3
|
170,8
|
91,6
|
31,6
|
64,29
|
P1R2
|
-
|
30,8
|
16,6
|
117,4
|
4.2.
Pembahasan
4.2.1. Konsumsi Pakan
Hasil rataan
konsumsi pakan selama 1-4 mingggu itik pegagan pada umur 3 minggu
konsumsi pakan lebih tinggi dari pada itik pegagan umur 1,2 dan 4 minngu. Hal tersebut
dapat disebabkan dari
perilaku makan yang
berbeda antara itik yang berumur 3 minggu dan itik yang berumur 1,2,4 minggu. Mahata
(1993) menyatakan bahwa
ternak akan mengkonsumsi
pakan sesuai dengan batas kemampuan biologisnya sekalipun
diberikan pakan yang berprotein tinggi. Pakan yang diberikan pada
praktikum ini sama
pada tiap perlakuan
yakni ad libitum,
sehingga itik dengan bobot
badan kecil maupun
itik dengan bobot
badan besar mendapat
kesempatan yang sama dalam
mengkonsumsi pakan untuk
memenuhi kebutuhannya. Selain
itu, pakan yang diberikan
selalu dalam kondisi
baik dan di
ganti setiap hari.
Sistem pemberian ini menyebabkan pakan terjaga dengan baik.
Ensminger (1992), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konversi pakan
yaitu genetik, bangsa, besar tubuh, jenis kelamin, umur dan tingkat konsumsi. Konsumsi pakan
dipengaruhi oleh bangsa,
genetik, besar tubuh,
jenis kelamin, umur, tingkat
produksi telur, besar
telur, aktivitas, tipe
kandang, palatabilitas pakan,
kandungan energi pakan, kualitas kecernaan pakan, konsumsi air, suhu
tubuh, kandungan lemak tubuh dan tingkat stress (North dan Bell, 1990).
Perilaku kanibal juga dapat menurunkan konsumsi pakan, pertumbuhan
dan konversi pakan.
Konsumsi pakan meningkat
seiring dengan meningkatnya bobot
badan (Ensminger, 1992).
Hasil penelitian Margawati
(1985) menunjukkan konsumsi dan konversi pakan dipengaruhi oleh tingkat
kepadatan kandang.
4.2.2. Konversi Pakan
Konversi pakan pada perlakuan itik pegagan tersebut menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata. Berbagai umur
itik memiliki potensi
efisiensi yang sama
dalam merubah pakan
untuk pertumbuhan. Nilai konversi
pakan ketiga perlakuan itik
ini berkisar antara
3,03 sampai 4,49 dengan
rataan 4,02. Nilai
konversi pakan yang
didapatkan dalam penelitian
ini tidak jauh berbeda dengan nilai konversi pakan yang
didapatkan Wulandari (2005) pada itik Cihateup. Suprijatna (2005)
yang menyatakan bahwa
konversi pakan sebagai
tolak ukur untuk menilai
seberapa banyak pakan
yang dikonsumsi itik
menjadi jaringan tubuh,
yang dinyatakan dengan besarnya
bobot badan adalah
cara yang masih
dianggap terbaik. Semakin rendah
nilai konversi pakan maka ternak tersebut semakin efisien dalam merubah pakan
menjadi jaringan tubuh. Hal ini dapat
disebabkan karena entok
dan itik lokal
memiliki potensi efisiensi
yang sama dalam merubah
pakan untuk pertumbuhan
jaringan tubuh. Berbeda
dengan hasil penelitian dari
Bintang (2000) menyatakan
bahwa entok jantan
lebih efisien dalam penggunaan pakan
dibandingkan itik lokal.
Berdasarkan pengamatan selama
penelitian entok jantan memiliki
tingkat kesetresan palaing
tinggi dibandingkan dengan itik
lokal
sehingga
mengakibatkan deplesi atau
tingkat kematian yang
lebih tinggi. Ketaren
(2001) menyebutkan bahwa buruknya
konversi pakan itik
disebabkan oleh perilaku
makan itik termasuk kebiasaan
itik yang segera
mencari air minum
setelah makan. Pakan
umumnya terbuang pada saat itik tersebut pindah dari tempat pakan ke
tempat minum maupun juga terlarut di dalam wadah air minum.
4.2.3. Bobot Badan Akhir
Hasil dari
perlakuan frekuensi pakan
terhadap bobot akhir itik
pegagan dengan perlakuan R1, R2 dan R3 berturut-turut adalah 350 gram, 450 gram
dan 500 gram. Penelitian Setiawan dan Sujana (2010) menunjukkan bahwa bobot
akhir itik yang
dipanen mulai umur 3 sampai
4 bulan berada pada kisaran
1.020,00 – 2.370,00
g, sehingga bila
dibandingkan dengan bobot badan
akhir yang dicapai pada penelitian tersebut dapat dikatakan normal. Menurut Atmomarsono
(2004) itik lokal adalah penghasil daging dan telur yang mempunyai produktifitas
tinggi, karena dalam waktu 4 bulan mampu mencapai bobot badan
1,75–2 kg. Faktor
yang mempengaruhi bobot
badan akhir itik
antara lain; genetik,
jenis kelamin, protein
ransum, suhu, manajemen perkandangan dan sanitasi
(Anggorodi, 1985).
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pertumbuhan itik
dipengaruhi oleh pakan yang diberikan
untuk tumbuh dan berkembang, maka peran dari saluran pencernaan sangat berperan
untuk mengubah pakan menjadi senyawa-senyawa yang diperlukan oleh tubuh. Bahan
lokal jahe (Zingiber officinale) diketahui mempunyai kandungan minyak
atsiri yang memiliki aroma harum yang dapat merangsang kelenjar pencernaan,
baik untuk membangkitkan nafsu makan dan pencernaan. Jahe berkhasiat untuk
menambah nafsu makan, memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan, meningkatkan
kinerja enzim yang dapat membantu proses pencernaan dalam mengolah pakan.
Pencantuman jahe dalam pakan pada tingkat ini juga meningkatkan stabilitas
oksidatif, tetapi menurunkan konsentrasi kolesterol dalam serum itik pegagan.
Pertumbuhan
dan pertambahan bobot badan itik pegagan dipegaruhi oleh kualitas pakan dan
jumlah pakan yang dikonsumsinya. faktor yang mempengaruhi konversi pakan yaitu
genetik, bangsa, besar tubuh, jenis kelamin, umur dan tingkat konsumsi. Konsumsi pakan
dipengaruhi oleh bangsa,
genetik, besar tubuh,
jenis kelamin, umur, tingkat
produksi telur, besar
telur, aktivitas, tipe
kandang, palatabilitas pakan,
kandungan energi pakan, kualitas kecernaan pakan, konsumsi air, suhu
tubuh, kandungan lemak tubuh dan tingkat stress.
5.2. Saran
Untuk mendapatkan hasil dan pengaruh
penambahan tepung jahe dalam ransum itik pegagan, maka perlu dilakukan pemberian pakan
secara adlibitum
sehingga dapat
kita ketahui seberapa besar tepung jahe mempengaruhi performa itik pegagan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi,
R., 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. UniversitasIndonesia.
Jakarta.
Brahmantiyo, B. R. Setioko, dan l. H. Prasetyo. 2002. Karakteristik pertumbuhan itik pegagan sebagai
sumber plasma nutfah ternak. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Bogor
Hardjosworo, P. dan Rukmiasih. 1999. Itik Permasalahan dan
Pemecahan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Herawati.
2006. Pengaruh Penambahan Fitobiotik Jahe Merah (Zingiber Officinale Rosc)
terhadap Produksi dan Profil Darah Ayam Broiler. Jurnal Ilmu Peternakan
Vol. 14 No.2 Tahun 2006. Fakultas Peternakan. Universitas Muhammadiyah
Purworejo.
Latif,
A.S., S.N. Yuliati dan I Hendra. 1997. Pengaruh Jahe dalam Ransum Terhadap
Penampilan Ayam Pedaging Proseding Seminar Nasional II. Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak, 15-16 Juli 1997. Kerjasama Fapet, IPB dengan AINI, Bogor.
Pramudyati S. 2003. Budidaya Itik Pegagan. Balai
Pengkajian Tehnolgi Pertanian. Sumatera Selatan.
Prasetyo,
L. H., P. P.Kateren dan P. S. Hardjosworo. 2006. Perkembangan teknologi
budidaya itik di Indonesia. Lokakarya Unggas Air II. Balai Penelitian Ternak,
Bogor. Hal : 145-161.
Rahmawati,
D. 2010. Khasiat Jahe Merah. http://dephita.student.umm.ac.id/khasiat-jahe-merah.pdf.
Diakses 27 Februari 2013.
Rasyaf,
M. 1993. Beternak Itik Komersial. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Scanes,
C. G., G. Brat and M. E. Ensminger. 2004. Poultry Science. 4th Edition.
Prentince Hall, New Jersey.
Setyanto,
A., U. Atmomarsono, dan R. Muryani. 2012. Pengaruh Penggunaan Tepung Jahe
Emprit (Zingiber officinale var Amarum) dalam Ransum terhadap Laju Pakan dan
Kecernaan Pakan Ayam Kampung Umur 12 Minggu. Animal Agriculture Journal. 1
(1): 711 – 720.
Suharno,
B. dan Setiawan. 1999. Beternak Itik di Kandang Baterai. Penebar Swadaya,
Jakarta
Soeharsono.,
1977. Respon Broiler Terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan. Disertasi. Fakultas Peternakan. Universitas
Padjajaran. Bandung.
Wahyu,
J., 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wibowo,
P.A., 1989. Pengaruh Penggunaan Ransum Dengan Berbagai Tingkat Protein Pada
Tingkat Energi Metabolis Yang Sama Terhadap Persentase Komponen Karkas Itik
Tegal Jantan Umur 8 Minggu. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Zhang,
G. F, Z. B. Yang, Y. Wang, W. R. Yang, S. Z. Jiang and G. S.Gai. 2009. Effects
of Ginger Root (Zingiber officinale) Processed to Different Particle Sizes on
Growth Performance, Antioxidant Status, and Serum Metabolites of Broiler
Chickens. Poultry Sci. 88:2159-2166.
Santoso, U., K.
Tanaka and S.
Ohtani. 1995. Does
feed-restriction refeeding
program improve growth
characteristics and body
composition in local duck. Anim. Sci. Technol.
66: 7-15.
Setiawan, A. dan
E. Sujana. 2010.
Bobot akhir, persentase
karkas dan lemak abdominal itik lokal
yang dipanen pada
umur yang berbeda.
Seminar Nasional Fakultas Peternakan Unpad. Universitas Padjajaran.
Bandung.
Best Online Casino Sites in Nigeria 2021 – Bookmakers With
BalasHapus⭐ Top Online 바카라 Casinos with Real Money Mobile Betting หาเงินออนไลน์ ⭐ All Payment Methods & ✓ New 카지노 and RTG Casinos ✓ Best Bonus Offers.