Selasa, 14 April 2015

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG JAHE TERHADAP PERFORMA ITIK PEGAGAN


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Itik merupakan salah satu komoditi unggas yang banyak dipelihara di Indonesia sebagai penghasil daging dan telur (tipe dwiguna).Ternak itik lokal merupakan ternak unggas penghasil telur, daging dan bulu (Ismoyowati, 2008). Selain itu olahan daging itik juga sangat digemari oleh masyatakat.Hal ini sebagai bukti bahwa usaha dan agribisnis perunggasan terutama itik masih terbuka lebar dengan prospek keuntungan yang masih menjanjikan.
Ternak itik lokal Indonesia khususnya Sumatera Selatan adalah Itik Pegagan di Kabupaten Ogan Ilir, yang merupakan sumber daya genetik yang telah menjadi salah satu pilihan usaha penyedia telur dan daging oleh masyarakat setempat.Akan tetapi pelaksanaan agrinbisnis dalam bidang ini bukan tanpa tantangan.Tantangan yang dihadapi tidak hanya berfokus pada ketersediaan pakan yang tersedia sepanjang tahun dan  tidak bersaing dengan manusia tetapi juga kemampuan peternak untuk menyediakan daging yang tidak hanya sehat tetapi juga menyehatkan bagi konsumen.
Ransum yang diberikan dengan memperhatikan kebutuhan, tentu saja belum  memaksimalkan  produktivitas.  Untuk  itu  perlu  adanya  pakan  aditif  yang  ditambahkan  dalam  ransum.  Pakan  aditif  yang  digunakan  dapat  berupa  produk  herbal  yang  sudah  dikenal  oleh  masyarakat  luas.  Produk  herbal  yang  digunakan
adalah  jahe  (Zingiber  Officinale  var.  Rubrum)  yang  sudah  dikenal  sejak  jaman  dahulu  sebagai  tanaman  obat.  Jahe  merah  diharapkan  mampu menggantikan  obat  non  organik. Tepung jahe mempunyai manfaat dalam pencernaan,  penyerapan  dan  metabolisme.  Disamping  itu,  jahe  merah juga memiliki komponen bioaktif  berupa  minyak atsiri, oleoresin dan gingerol.
Berbagai komponen bioaktif tersebut, disamping memperbaiki produktivitas juga mampu mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Minyak atsiri membantu  kerja enzim pencernaan  sehingga laju  pakan  meningkat  dan  seiring  dengan  laju pertumbuhan  maka  produksi  daging  akan  naik. Jahe  berkhasiat  menambah  nafsu makan,  memperkuat  lambung,  dan  memperbaiki  pencernaan.  Terangsangnya  selaput lendir  perut  besar  dan  usus  oleh minyak  atsiri  yang  dikeluarkan  rimpang jahe,  sehingga  mengakibatkan  lambung  menjadi  kosong  dan  ayam  akan mengkonsumsi  ransum  (Harmono  dan  Andoko,  2005 ;  Setyanto  et  al.,  2012).
Dengan  kandungan bioaktif yang dimiliki diharapkan  mampu  meningkatkan produktivitas ternak itik pegagan. Akan tetapi, belum diketahui seberapa banyak level penambahan  tepung  jahe  merah  untuk  memperbaiki  produktivitas  dan  kualitas produk.  Untuk  itu  perlu  dilakukan  praktikum  mengenai  pengaruh tepung  jahe terhadap produktivitas,  karena  daging dan telur itik  cenderung  lebih  diminati sehubungan  dengan  ransum  yang  dikonsumsi  itik  dan  daya  tahan tubuhnya  yang  lebih  baik  jika  dibandingkan  dengan itik  lainnya,  sehingga  dapat menghasilkan  produktivitas yang  lebih  alami  karena  tidak  menggunakan antibiotika.  Manfaat  yang  diperoleh  dari  penelitian  ini  adalah  memperoleh informasi terhadap level pemberian jahe merah yang optimal.
Peningkatan bobot badan dan kuran-ukuran  tubuh  dapat  digunakan  untuk  mengetahui dan mempelajari  pertumbuhan dan perkembangan ternak. Ternak dengan ukuran tulang yang lebih besar cenderung tumbuh lebih cepat dan menghasilkan  potongan  karkas  yang  lebih  besar  dibandingkan  dengan  ternak  yang  mempunyai  ukuran  tulang  lebih  kecil.  Pemberian tepung jahe sebagai  growth promotor dapat meningkatkan laju pertumbuhan karena mengandung zat bioaktif yang dapat  memacu pertumbuhan kerangka tulang. Tepung Jahe diberikan pada fase  pertumbuhan untuk meningkatkan pertumbuhan guna mencapai produksi yang optimal.

1.2. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung jahe sampai level 1,5 % dalam ransum berpengaruh terhadap performa Itik Pegagan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Itik Pegagan
Itik Pegagan adalah itik yang berasal dari Provinsi Sumatera Selatan, Itik Pegagan ini merupakan salah satu plasma nutfah asli yang dimiliki oleh Indonesia sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan. Populasi Itik Pegagan saat ini diperkirakan hanya 10% populasi itik di Sumatera Selatan. Menurut Komisi Plasma Nutfah populasi Itik Pegagan sekarang  ini  sekitar 5.000 ekor. Padahal Itik Pegagan sebagai sumber plasma nutfah belum banyak diungkap sebagaimana ternak itik lokal lain, sehingga perlu upayakan pelestarian terhadap Itik Pegagan tersebut. Keunggulan Itik Pegagan ini terletak pada berat telur dan berat badan. Berat telur Itik Pegagan mencapai 70-80 g dan berat badan itik betina dewasa mencapai 2,1 kg/ekor, sedangkan berat telur jenis itik lain hanya 60-65 g dan berat badannya berkisar 1,45-1,90 kg/ekor (Pramudyati, 2003). Menurut Brahmantiyo et al., (2002) Itik Pegagan mempunyai potensi pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan itik petelur (Alabio, Mojosari dan persilangan timbal baliknya) namun masih lebih rendah dibandingkan itik pedaging (Peking) dan  daya adaptasi Itik Pegagan cukup baik dilingkungan baru yang berbeda dengan habitat asli (ex situ).
¨  Klasifikasi Taksonomi Itik Lokal Indonesia
¡  Kingdom         : Animalia
¡  Phylum            : Chordata
¡  Sub                  : Vertebrata
¡  Class                : Aves
¡  Ordo                : Anseriformes
¡  Family             : Anatidae
¡  Genus              : Anas
¡  Spesies            : Anas platyrhynchos


Itik bersifat omnivorus (pemakan segala) yaitu memakan bahan dari tumbuhan dan hewan seperti biji-bijian, rumput-rumputan, ikan, bekicot dan keong. Itik merupakan unggas yang mempunyai ciri-ciri kaki relatif lebih pendek dibandingkan tubuhnya; jarinya mempunyai selaput renang; paruhnya ditutupi oleh selaput halus yang sensitif; bulu berbentuk cekung, tebal dan berminyak; itik memiliki lapisan lemak di bawah kulit; dagingnya tergolong gelap (dark meat); tulang dada itik datar seperti sampan (Suharno dan Setiawan, 1999). Rasyaf (1993) menyatakan bahwa itik merupakan unggas air yang dipelihara untuk diambil telurnya yang mempunyai ciri-ciri umum; tubuh ramping, berjalan horizontal, berdiri hampir tegak seperti botol dan lincah sebagai ciri unggas petelur.
Menurut Windhyarti (1999), itik dibagi menjadi tiga tipe yaitu tipe pedaging, tipe petelur dan tipe hias (ornamental). Itik tipe pedaging misalnya itik Muscovy (Anas moscata, itik manila), itik Peking dan itik Rouen. Itik ornamental contohnya itik Blue Swedis. Itik tipe petelur antara lain Indian Runner (Anas javanica) yang terdiri dari itik Karawang, itik Mojosari, itik Tegal, itik Magelang, itik Bali (Anas sp.), itik Alabio (Anas platurynchos borneo), itik khaki Campbell, itik CV 2000-INA serta itik unggul lain yang merupakan hasil persilangan oleh pakar BPT Ciawi-Bogor.
                                                                                               
2.2. Tepung Jahe
Pertumbuhan itik dipengaruhi  oleh pakan yang diberikan untuk tumbuh dan berkembang, maka peran dari saluran pencernaan sangat berperan untuk mengubah pakan menjadi senyawa-senyawa yang diperlukan oleh tubuh. Bahan lokal jahe (Zingiber officinale) diketahui mempunyai kandungan minyak atsiri yang memiliki aroma harum yang dapat merangsang kelenjar pencernaan, baik untuk membangkitkan nafsu makan dan pencernaan. Jahe berkhasiat untuk menambah nafsu makan, memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan, meningkatkan kinerja enzim yang dapat membantu proses pencernaan dalam mengolah pakan. Pencantuman jahe dalam pakan pada tingkat ini juga meningkatkan stabilitas oksidatif, tetapi menurunkan konsentrasi kolesterol dalam serum ayam pedaging (Zhang et al., 2009).
Jahe dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: jahe gajah, jahe emprit dan jahe merah. Jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum) berukuran paling kecil dibandingkan dengan jenis jahe lainnya, berwarna merah, dan memiliki kandungan minyak atsiri yang sama dengan jahe emprit. Jahe merah juga memiliki komponen bioaktif berupa minyak atsiri, oleoresin dan gingerol. Berbagai komponen bioaktif tersebut, disamping memperbaiki produktivitas juga mampu mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Minyak atsiri membantu kerja enzim pencernaan sehingga laju pakan meningkat dan seiring dengan laju pertumbuhan maka produksi daging akan naik. Jahe berkhasiat menambah nafsu makan, memperkuat lambung dan memperbaiki pencernaan. Terangsangnya selaput lendir perut besar dan usus oleh minyak atsiri yang dikeluarkan rimpang jahe, sehingga mengakibatkan lambung menjadi kosong dan ternak akan mengkonsumsi pakan (Setyanto, Atmomarso dan Muryani, 2012). Sifat gingerol sebagai antikoagulan yaitu mampu mencegah penggumpalan darah, diperkirakan juga mampu menurunkan kadar kolestrol.
Minyak atsiri dalam jahe merah terdiri dari senyawa-senyawa zingeberin, kamfena, lemonin, zingiberen, zingiberal, gingeral, dan shogool. Kandungan lainnya, yakni minyak damar, pati, asam organik, asam malat, asam aksolat, dan gingerin. Minyak atsiri jahe merah diyakini memiliki khasiat untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Rahmawati, 2010). Pemberian jahe dalam pakan pada ayam pedaging dapat menurunkan lemak abdominal secara nyata dibandingkan pemberian pakan kontrol (Latif et al, 1997). Berdasarkan kajian pustaka yang ada penelitian jahe merah belum dilakukan, sehingga perlu dikaji pengaruh pemberian sari jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum) terhadap kualitas karkas itik pedaging.         
Dalam penelitian ini mencoba menggunakan tepung jahe yang akan dicampurkan dalam ransum. Level tepung jahe dalam ransum sebagai feed additive yaitu 0,5%, 1% dan 1,5% dan mengamati terhadap bobot badan itik selama masa permeliharaan. Jahe mengandung minyak atsiri dan kurkumin berperan meningkatkan kerja organ pencernaan, merangsang getah pankreas yang mengandung enzim amilase, lipase, dan protease, akan tetapi jika penggunaan jahe berlebihan maka akan menyebabkan dampak negatif (toksik) pada tubuh ayam (Herawati, 2010).           
2.3. Konsumsi pakan           
Ternak mengkonsumsi ransum adalah untuk hidup pokok, tumbuh dan berproduksi, sehingga jumlah ransum yang telah dikonsumsi mempengaruhi pertumbuhan (Schaible, 1970 cit. Zaenudin, 1996). Menurut Wahyu (1978) cit. Wibowo (1989) menyatakan bahwa ternak mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan akan energi dan zat-zat ransum lainnya dalam tubuh. Hal ini sangat ditentukan oleh temperatur lingkungan, kesehatan, ukuran tubuh kecepatan serta imbangan zat-zat ransum yang ada di dalamnya.
            Pertumbuhan tidak terlepas kaitannya dengan konsumsi ransum yang pada gilirannya mencerminkan pula konsumsi gizinya. Kesempurnaan imbangan gizi dalam konsumsi ransum sangat penting bagi pertumbuhan optimal (Soeharsono, 1977). Konsumsi ransum dipengaruhi kecepatan pertumbuhan, imbangan zat-zat ransum, strain, kesehatan, bentuk ransum dan umur (Wahyu, 1985) dan temperatur lingkungan menunjukkan kecenderungan korelasi negatif dengan konsumsi ransum (Soeharsono, 1977).
            Pengukuran konsumsi ransum setiap minggu berdasarkan jumlah yang diberikan pada awal minggu dikurangi dengan sisa pada akhir minggu (Soeharsono, 1977). Menurut Rasyaf (1994) menerangkan bahwa konsumsi diukur dalam waktu satu minggu. Konsumsi ransum pada kurun waktu itu, apabila dibagi tujuh akan diperoleh konsumsi per hari.

2.4. Konversi  Pakan
            Konversi ransum merupakan pembagian antara bobot badan yang dicapai pada minggu ini dengan konsumsi ransum pada minggu itu pula. Konversi ransum sebaiknya digunakan sebagai pegangan produksi karena sekaligus melibatkan bobot badan dan konsumsi ransum (Rasyaf,1994). Menurut Anggorodi (1985) menyatakan bahwa konversi ransum adalah perbandingan antara jumlah konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan dalam suatu satuan waktu tertentu. Dijelaskan lebih lanjut bahwa semakin kecil angka konversi semakin baik pula tingkat penggunaan ransum. Menurut Soeharsono (1977) menjelaskan bahwa makin kecil nilai konversi ransum ditinjau dari segi ekonomis makin menguntungkan karena makin sedikit jumlah ransum yang diberikan untuk menghasilkan bobot badan tertentu. Ransum unggas yang memakai energy tinggi cenderung mempercepat pertumbuhan serta akan memperbaiki konversi ransum, apabila diikuti dengan bertambahnya tingkat protein (Scott et al., 1976 cit. Zaenudin, 1996). Genetik, bobot badan, umur, tingkat pemberian ransum, kualitas dan kuantitas ransum merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi ransum (Campbell dan Lasley, 1977 cit. Zaenudin, 1996).

2.5. Bobot akhir                                                                                            
Kecepatan pertumbuhan (grow rate) pada unggas biasanya diukur melalui pertambahan bobot badan (Soeharsono, 1977). Pada umumnya, pengukuran pertumbuhan ternak didasarkan pada kenaikan bobot tubuh per satuan waktu tertentu, yang dinyatakan sebagai rerata pertambahan bobot badan per hari atau rerata kadar laju pertumbuhan (Brody, 1945 cit. Soeparno, 1994). Menurut Rasyaf (1994) menjelaskan pengukuran bobot badan dilakukan dalam kurun waktu satu minggu  sehingga untuk mendapatkan pertambahan bobot badan harian, bobot dibagi tujuh.
Dinyatakan dalam rumus sebagai berikut :
PBB = BBt – BBt-1
PBB : Pertambahan bobot badan
BBt : Bobot badan pada waktu t
BBt-1: Bobot badan pada waktu yang lalu
t : Waktu satu minggu
Pola pertumbuhan tubuh secara normal merupakan gabungan dari pola pertumbuhan semua komponen penyusunnya. Pada kondisi lingkungan yang ideal, bentuk kurve pertumbuhan postnatal untuk semua species ternak yang serupa, yaitu mengikuti pola kurve pertumbuhan sigmoidal, yaitu pada awal kehidupan mengalami pertumbuhan yang lambat diikuti pertumbuhan yang cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi hingga berhenti setelah mencapai kedewasaan (Tulloh, 1978 cit. Soeparno, 1994).

BAB 3
MATERI DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu
Praktikum ini dilaksanakan di kandang Program studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, dari tanggal 01 sampai dengan tanggal 24 November 2014.

3.2. Materi Praktikum
3.2.1. Kandang
            Kandang untuk pemeliharaan digunakan kandang baterai dengan jumlah kandang pemeliharaan yang digunakan sebanyak 20 kandang, dengan luas kandang 60 cm x 70 cm. Pada setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat minum dan lampu.

3.2.2.      Ternak
            Penelitian ini menggunakan Itik Pegagan berumur satu hari yang diperoleh dari Desa Kota Daro Kecamatan Rantau Panjang Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatra Selatan.

3.2.3. Ransum
Ransum yang digunakan selama praktikum adalah ransum basal tanpa antibiotik berbentuk crumble yang disusun secara isokalori  dan isoprotein dengan susunan ransum  periode stater umur 0-4 minggu dengan kandungan protein 21-23% dan energy metabolisme 2600 kkal/kg sesuai rekomendasi NRC (1994).
Tabel 3.1. Susunan Ransum Perlakuan Itik pegagan

Jenis Bahan Baku
Jumlah (%)
Jagung
52
Konsentrat
40
Dedak
  8
Total
100
3.2.4. Perlakuan yang Diberikan
Perlakuan yang diberikan selama praktikum berlangsung adalah sebagai berikut :
R1 = Ransum basal (kontrol)
R2 = Ransum basal + tepung jahe 0,5 %
R3 = Ransum basal + tepung jahe 1 %
R4 = Ransum basal + tepung jahe 1,5 %

3.3.      Metode Praktikum
3.3.1. Pembuatan Ransum
Pencampuran bahan baku dilakukan dengan mencampurkan bahan yang jumlahnya lebih sedikit terlebih dahulu yaitu dedak halus. Selanjutnya kebahan yang lebih besar dan banyak jumlahnya yaitu konsentrat dan jagung kuning. 

3.3.2.      Kandang
Kandang itik yang digunakan dibersihkan dan dikapur secara merata dan disuciharamkan dengan disinfektan dengan cara disemprot untuk membunuh bibit penyakit dan bakteri patogen yang ada dalam kandang. Pengapuran bertujuan untuk mengurangi kelembaban dan mencegah tumbunnya jamur. Kandang yang sudah disuciharamkan dibiarkan selama satu sampai dua minggu.

3.3.3.      Pemeliharaan Ternak
Praktikum ini menggunakan 61 ekor DOD Itik Pegagan. Itik-itik ini dibagi menjadi 1 kontrol, 3 perlakuan dan 5 ulangan dengan  masing masing kandang berisi 3 ekor Itik Pegagan.
DOD Itik Pegagan yang baru datang diberi minum air gula merah dengan konsentrasi 1-2% selama empat jam pertama sebagai sumber energi untuk memulihkan kondisi itik akibat stress pengangkutan.  Selanjunya DOD Itik Pegagan ditimbang dan dilakukan pengacakan. Setelah itu air gula harus segera diganti dengan air minum. selama masa pemeliharaan ransum diberikan secara adlibitum.
Pemberian perlakuan penambahan tepung jahe dilakukan dengan cara dicampurkan kedalam ransum sesuai dengan perlakuan dan diberikan setiap hari.

3.4.      Peubah yang Diamati
1.      Konsumsi ransum (g/ekor/minggu), dihitung dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum selama praktikum.
2.      Pertambahan bobot badan (g/ekor/minggu), diukur dengan cara mengurangi bobot badan akhir dengan bobot badan awal praktikum.
3.      Konverasi ransum, dihitung dengan cara membagi pertambahan bobot badan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi.














BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 4.1. Hasil yang diperoleh yaitu pertambahan bobot badan itik pegagan selama pemeliharaan sebagai berikut:

Perlakuan

      Umur


1Minggu (gr)
2 Minggu (gr)
3 Minggu (gr)
4 Minggu (gr)
P3R1
180,6
286,6
432
600

202,4
302,2
454
650

179,2
341,8
170
200
P4R4
121,4
267,4
420
550

137,6
179,6
451
300

176,2
285,4
255
450
P4R5
237,6
263,4
359
600

269,2
209.6
456
500
P2R1
152,8
268,4
412
600

140,4
247
522
400

209,2
339,2
381
500
P3R4
175,6
426,2
465
600

119,6
247,8
355
300

113,6
187,4
327
400
P3R2
208,2
139
567
500

101
330.6
526
600

157,6
233,2
664
500
P1R3
76,8
326
505
600

106,8
193,4
402
500

153,8
278,6
287
350
P1R4
118,2
323,4
516
450

109,2
191,2
302
650

178,6
175,4
214
300
P2R5
110,0
213,6
425
450

167
303,6
423
500

158,8
123,2
323
450
P3R5
118,6
186
393
400

126,2
231
274
350

80
197,8
332
450













Perlakuan

      Umur


1 Minggu (gr)
2 Minggu (gr)
3 Minggu (gr)
4 Minggu (gr)
P2R4
155,2
327
369
550

131,8
317,4
242
350

99,4
105,4
437
450
P1R1
179,4
149
267
500

98,2
173,6
292
400
P4R2
223,6
143,6
212
400

96
186,2
296
450

128,8
221
310
-
P4R3
110,8
205,7
422
600

145,6
281,4
292
500

139,6
-
-
-
P1R5
143,4
350,8
390
450

134,2
238
433
500

299,8
302,6
323
450
P3R5
214,8
223,4
411
400

261,4
267,2
462
350

40
90,2
256
450
P2R2
169
207
271
600

101
135,2
303
650

98,3
128,4
202
200
P4R1
261,4
300,6
435
550

121,3
146,4
251
300

212
268,2
206
450
P2R3
225,6
372
253
500

179
202
267
600

127
153,8
359
300
P1R2
167,4
208,4
375
400

78,9
131,8
197
500

111,2
135.8
205
600





Tabel 4.2. Sisa pakan selama pemeliharaan

Perlakuan

     Sisa Pakan


1 Minggu (gr)
2 Minggu (gr)
3 Minggu (gr)
4 Minggu (gr)
P3R1
27,0
89,2
49
21,2
P4R4
75.6
61,8
245,6
71,6
P4R5
90,8
23,4
32,7
62,6
P2R1
177
82,8
28,2
630
P3R4
78
113
32,8
62,6
P3R2
100,8
39,4
28,7
-
P1R3
112,6
67,6
303
-
P1R4
81,8
54,4
35,3
75,6
P2R5
58,8
74,4
32,8
-
P3R5
224,4
85,4
26,4
-
P2R4
157,8
69,2
42,2
26,69
P1R1
176
329,4
86,2
929
P4R2
117
340
37,6
2,4
P4R3
31,2
210
52,4
124,8
P1R5
85,6
81,6
38,2
-
P3R3
134,2
99,4
58,2
18
P2R2
225,2
188
26,2
77,29
P4R1
225,0
25
26,8
33,4
P2R3
170,8
91,6
31,6
64,29
P1R2
-
30,8
16,6
117,4

4.2. Pembahasan
4.2.1. Konsumsi Pakan
Hasil  rataan  konsumsi pakan selama 1-4 mingggu itik pegagan pada umur 3 minggu konsumsi pakan lebih tinggi dari pada itik pegagan umur 1,2 dan 4 minngu. Hal  tersebut  dapat  disebabkan  dari  perilaku  makan  yang  berbeda  antara  itik yang berumur 3 minggu  dan itik yang berumur 1,2,4 minggu.  Mahata  (1993)  menyatakan  bahwa  ternak  akan  mengkonsumsi  pakan  sesuai  dengan batas kemampuan biologisnya sekalipun diberikan pakan yang berprotein tinggi. Pakan yang diberikan  pada  praktikum  ini  sama  pada  tiap  perlakuan  yakni  ad  libitum,  sehingga  itik dengan  bobot  badan  kecil  maupun  itik  dengan  bobot  badan  besar  mendapat  kesempatan yang  sama  dalam  mengkonsumsi  pakan  untuk  memenuhi  kebutuhannya.  Selain  itu,  pakan yang  diberikan  selalu  dalam  kondisi  baik  dan  di  ganti  setiap  hari.  Sistem  pemberian  ini menyebabkan pakan terjaga dengan baik. Ensminger (1992), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konversi pakan yaitu genetik, bangsa, besar tubuh, jenis kelamin, umur dan tingkat konsumsi. Konsumsi  pakan  dipengaruhi  oleh  bangsa,  genetik,  besar  tubuh,  jenis  kelamin,  umur, tingkat  produksi  telur,  besar  telur,  aktivitas,  tipe  kandang,  palatabilitas  pakan,  kandungan energi pakan, kualitas kecernaan pakan, konsumsi air, suhu tubuh, kandungan lemak tubuh dan tingkat stress (North dan Bell, 1990). Perilaku kanibal juga dapat menurunkan konsumsi pakan,  pertumbuhan  dan  konversi    pakan.  Konsumsi  pakan  meningkat  seiring  dengan meningkatnya  bobot  badan  (Ensminger,  1992).  Hasil  penelitian  Margawati  (1985) menunjukkan konsumsi dan konversi pakan dipengaruhi oleh tingkat kepadatan kandang.

4.2.2. Konversi Pakan
Konversi pakan pada perlakuan itik pegagan tersebut menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Berbagai umur  itik  memiliki  potensi  efisiensi  yang  sama  dalam  merubah  pakan  untuk pertumbuhan.  Nilai  konversi  pakan  ketiga perlakuan    itik  ini  berkisar  antara  3,03  sampai  4,49 dengan  rataan  4,02.  Nilai  konversi  pakan  yang  didapatkan  dalam  penelitian  ini  tidak  jauh berbeda dengan nilai konversi pakan yang didapatkan Wulandari (2005) pada itik Cihateup. Suprijatna  (2005)  yang  menyatakan  bahwa  konversi  pakan  sebagai  tolak  ukur  untuk menilai  seberapa  banyak  pakan  yang  dikonsumsi  itik  menjadi  jaringan  tubuh,  yang dinyatakan  dengan  besarnya  bobot  badan  adalah  cara  yang  masih  dianggap  terbaik. Semakin rendah nilai konversi pakan maka ternak tersebut semakin efisien dalam merubah pakan menjadi jaringan tubuh. Hal  ini  dapat  disebabkan  karena  entok  dan  itik  lokal  memiliki  potensi  efisiensi  yang sama  dalam  merubah  pakan  untuk  pertumbuhan  jaringan  tubuh.  Berbeda  dengan  hasil penelitian  dari  Bintang  (2000)  menyatakan  bahwa  entok  jantan  lebih  efisien  dalam penggunaan  pakan  dibandingkan  itik  lokal.  Berdasarkan  pengamatan  selama  penelitian entok  jantan  memiliki  tingkat  kesetresan  palaing  tinggi  dibandingkan  dengan itik  lokal
sehingga  mengakibatkan  deplesi  atau  tingkat  kematian  yang  lebih  tinggi.  Ketaren  (2001) menyebutkan  bahwa  buruknya  konversi  pakan  itik  disebabkan  oleh  perilaku  makan  itik termasuk  kebiasaan  itik  yang  segera  mencari  air  minum  setelah  makan.  Pakan  umumnya terbuang pada saat itik tersebut pindah dari tempat pakan ke tempat minum maupun juga terlarut di dalam wadah air minum.
4.2.3. Bobot Badan Akhir
Hasil  dari  perlakuan  frekuensi  pakan  terhadap  bobot  akhir  itik pegagan dengan perlakuan R1, R2 dan R3 berturut-turut adalah 350 gram, 450 gram dan 500 gram. Penelitian Setiawan dan Sujana (2010) menunjukkan bahwa  bobot  akhir  itik  yang  dipanen  mulai  umur  3  sampai  4 bulan berada  pada  kisaran  1.020,00    2.370,00  g,  sehingga  bila  dibandingkan  dengan bobot badan akhir yang dicapai pada penelitian tersebut dapat dikatakan normal. Menurut  Atmomarsono  (2004)  itik  lokal adalah penghasil  daging dan telur yang mempunyai produktifitas tinggi, karena dalam waktu 4 bulan mampu mencapai bobot  badan  1,75–2  kg.    Faktor  yang  mempengaruhi  bobot  badan  akhir  itik  antara  lain;  genetik,  jenis  kelamin,  protein  ransum,  suhu,  manajemen perkandangan dan sanitasi (Anggorodi, 1985).









BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Pertumbuhan itik dipengaruhi  oleh pakan yang diberikan untuk tumbuh dan berkembang, maka peran dari saluran pencernaan sangat berperan untuk mengubah pakan menjadi senyawa-senyawa yang diperlukan oleh tubuh. Bahan lokal jahe (Zingiber officinale) diketahui mempunyai kandungan minyak atsiri yang memiliki aroma harum yang dapat merangsang kelenjar pencernaan, baik untuk membangkitkan nafsu makan dan pencernaan. Jahe berkhasiat untuk menambah nafsu makan, memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan, meningkatkan kinerja enzim yang dapat membantu proses pencernaan dalam mengolah pakan. Pencantuman jahe dalam pakan pada tingkat ini juga meningkatkan stabilitas oksidatif, tetapi menurunkan konsentrasi kolesterol dalam serum itik pegagan.
Pertumbuhan dan pertambahan bobot badan itik pegagan dipegaruhi oleh kualitas pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsinya. faktor yang mempengaruhi konversi pakan yaitu genetik, bangsa, besar tubuh, jenis kelamin, umur dan tingkat konsumsi. Konsumsi  pakan  dipengaruhi  oleh  bangsa,  genetik,  besar  tubuh,  jenis  kelamin,  umur, tingkat  produksi  telur,  besar  telur,  aktivitas,  tipe  kandang,  palatabilitas  pakan,  kandungan energi pakan, kualitas kecernaan pakan, konsumsi air, suhu tubuh, kandungan lemak tubuh dan tingkat stress.

5.2. Saran
 Untuk mendapatkan hasil dan pengaruh penambahan tepung jahe dalam ransum itik pegagan, maka perlu dilakukan pemberian pakan secara adlibitum sehingga dapat kita ketahui seberapa besar tepung jahe mempengaruhi performa itik pegagan.


DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R., 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. UniversitasIndonesia. Jakarta.
Brahmantiyo, B. R. Setioko, dan l. H. Prasetyo. 2002.  Karakteristik pertumbuhan itik pegagan sebagai sumber plasma nutfah ternak. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor Hardjosworo, P. dan Rukmiasih. 1999. Itik Permasalahan dan Pemecahan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Herawati. 2006. Pengaruh Penambahan Fitobiotik Jahe Merah (Zingiber Officinale Rosc) terhadap Produksi dan Profil Darah Ayam Broiler. Jurnal Ilmu Peternakan Vol. 14 No.2 Tahun 2006. Fakultas Peternakan. Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Latif, A.S., S.N. Yuliati dan I Hendra. 1997. Pengaruh Jahe dalam Ransum Terhadap Penampilan Ayam Pedaging Proseding Seminar Nasional II. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, 15-16 Juli 1997. Kerjasama Fapet, IPB dengan AINI, Bogor.
Pramudyati S. 2003. Budidaya Itik Pegagan. Balai Pengkajian Tehnolgi Pertanian. Sumatera Selatan.
Prasetyo, L. H., P. P.Kateren dan P. S. Hardjosworo. 2006. Perkembangan teknologi budidaya itik di Indonesia. Lokakarya Unggas Air II. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Hal : 145-161.
Rasyaf, M. 1993. Beternak Itik Komersial. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Scanes, C. G., G. Brat and M. E. Ensminger. 2004. Poultry Science. 4th Edition. Prentince Hall, New Jersey.
Setyanto, A., U. Atmomarsono, dan R. Muryani. 2012. Pengaruh Penggunaan Tepung Jahe Emprit (Zingiber officinale var Amarum) dalam Ransum terhadap Laju Pakan dan Kecernaan Pakan Ayam Kampung Umur 12 Minggu. Animal Agriculture Journal. 1 (1): 711 – 720.
Suharno, B. dan Setiawan. 1999. Beternak Itik di Kandang Baterai. Penebar Swadaya, Jakarta
Soeharsono., 1977. Respon Broiler Terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan. Disertasi. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran. Bandung.
Wahyu, J., 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wibowo, P.A., 1989. Pengaruh Penggunaan Ransum Dengan Berbagai Tingkat Protein Pada Tingkat Energi Metabolis Yang Sama Terhadap Persentase Komponen Karkas Itik Tegal Jantan Umur 8 Minggu. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang.
Zhang, G. F, Z. B. Yang, Y. Wang, W. R. Yang, S. Z. Jiang and G. S.Gai. 2009. Effects of Ginger Root (Zingiber officinale) Processed to Different Particle Sizes on Growth Performance, Antioxidant Status, and Serum Metabolites of Broiler Chickens. Poultry Sci. 88:2159-2166.
Santoso,  U.,  K.  Tanaka   and  S.  Ohtani.  1995.  Does  feed-restriction  refeeding program  improve  growth  characteristics  and  body  composition  in  local duck. Anim.  Sci. Technol.  66: 7-15.
Setiawan,  A.  dan  E.  Sujana.    2010.  Bobot  akhir,  persentase  karkas  dan  lemak abdominal  itik lokal  yang  dipanen  pada  umur  yang  berbeda.  Seminar Nasional Fakultas Peternakan Unpad. Universitas Padjajaran. Bandung.

1 komentar:

  1. Best Online Casino Sites in Nigeria 2021 – Bookmakers With
    ⭐ Top Online 바카라 Casinos with Real Money Mobile Betting หาเงินออนไลน์ ⭐ All Payment Methods & ✓ New 카지노 and RTG Casinos ✓ Best Bonus Offers.

    BalasHapus